
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal mengatakan sudah saatnya Indonesia kembali memimpin diplomasi iklim global di tengah fokus dunia yang beralih ke geopolitik.
“Saya kira sudah waktunya Indonesia kembali menjadi pemimpin. Karena dulu saya ingat, waktu saya menjadi jubir (juru bicara) Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dulu, kita pernah menjadi pemimpin juga,” kata Dino dalam jumpa pers Indonesia Net-Zero Summit di Jakarta, Selasa.
Dia menyoroti kenaikan suhu dunia yang disebutnya sudah mencapai ambang batas 1,5 Celcius pada 2024.
Padahal, menurut Perjanjian Paris, dunia berkewajiban menahan peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2 derajat dan membatasi peningkatan suhu hingga 1,5 derajat, katanya.
Di sisi lain, kata Dino, dunia sedang menghadapi kehancuran yang sangat hebat. Negara-negara yang semula bersatu dalam Perjanjian Paris dan sepakat untuk memobilisasi dana 100 miliar dolar AS per tahun (sekitar Rp1.631 triliun), tidak lagi menjadikan isu iklim sebagai prioritas.
“Perang di mana-mana, uang tersedot untuk perubahan iklim, uang pembangunan juga tersedot ke sana, dana development assistance dari berbagai negara, Inggris, Australia, Jepang, itu menurun semua. Dan kita kehilangan fokus. Dan sekarang ‘perang bersama’ untuk mencapai (suhu) dunia 1,5 (Celcius) itu semakin hanyut,” kata dia.
Dino menilai, kini harapan terkait diplomasi iklim global tertumpu pada Indonesia yang terkenal dengan negara adikuasa lingkungan dan menjadi salah satu negara dengan tutupan hutan terbanyak di dunia.
Menurut mantan Duta Besar RI untuk AS itu, dulu pernah ada perundingan mengenai agenda iklim di antara negara-negara maju dan berkembang, tetapi perundingan itu tersendat karena negara berkembang menginginkan timbal balik dari negara maju jika terlibat dalam target iklim.
Sementara itu, negara maju juga tidak mau memberikan sesuatu jika tidak ada target pasti dari negara berkembang.
Kemudian, kata Dino, Presiden SBY memutuskan untuk mengejar target iklim sendiri, yakni 26 persen pengurangan emisi gas rumah kaca dengan usaha sendiri atau penurunan sebanyak 41 persen jika didukung bantuan internasional — sebuah langkah yang kemudian diikuti oleh negara-negara berkembang lainnya.
“Akhirnya, suasana negosiasi kelompok-kelompok jadi cair, antara negara maju dan negara berkembang. Intinya apa? Kita jadi pelopor, mengambil risiko dan di garis terdepan. Sudah waktunya Indonesia bisa menjadi pelopor, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri,” kata Dino.